TRADISI ENDHOG-NDHOGAN MAULID NABI BESAR MUHAMMAD SAW

1 year ago
73

Sejarah Maulid
Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW seperti yang kita peringati selama ini sebenarnya berangkat dari sebuah keprihatinan di saat berkecamuknya perang sabil/salib yang tidak kunjung usai selama kurang lebih 200 tahun dimulai tahun 1095 berakhir 1270, peperangan dahsyat bagai gelombang itu berlangsung sampai delapan kali.
Kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pertama kali digagas oleh Sultan Mudzoffar Abu Said Kaukabri bin Zainuddin Ali bin Bantakin yang berkuasa di daerah Irbil (Arbiles) –daerah Iraq– pada abad ke-7 Hijriyah. Kala itu Maulid Nabi digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus ungkapan terima kasih yang tulus-ikhlas kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberi teladan tentang bagaimana menjadi seorang muslim yang harus berjuang menegakkan agama Allah, menyelamatkan dari segala ancaman yang datang dari pihak luar yang ingin menghancur-leburkan kekuatan agama Islam. Kegiatan mulia ini kemudian diikuti oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.

Tradisi Maulid
Menyebarnya agama Islam, khususnya di tanah Jawa tidak lepas dari peranan dan usaha pantang-menyerah yang dilakukan oleh Wali Songo. Memanfaatkan momentum hari-hari besar Islam adalah salah satu metodologi dan sarana dakwah yang dikembangkan oleh Wali Songo, seperti peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, bahkan Sunan Kalijogo dalam berdakwah tidak meninggalkan aset budaya lokal yang telah berkembang pesat, mendarah-daging, dan diminati oleh masyarakatnya.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) ketika mengadakan peringatan Maulid Nabi di Cirebon selalu dibarengi dengan upacara “Garebeg Panjang Jimat”.
Panjang artinya: tiada henti.
Jimat artinya: siji kang dirumat, maksudnya adalah kalimat Syahadat.
Jadi Panjang Jimat artinya: Berjuang tiada henti sepanjang umur untuk mempertahankan kalimat Syahadat.
Di kota Solo dan Jogjakarta, Sunan Kalijogo menghidupkan kembali garebeg, yang dimanfaatkan sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Upacara garebeg sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, ketika kekuasaan pindah ke Demak oleh Raden Patah kegiatan ini sempat dihentikan, kebijakan ini telah mengecewakan rakyat karena mereka sudah terbiasa dengan acara tersebut. Kehadiran rakyat yang berjubel menyaksikan upacara garebeg tidak disia-siakan oleh Sunan Kalijogo untuk mengislamkan mereka secara massal, bagi yang masuk Islam, membaca kalimat Syahadat.
Kalimat Syahadat itu ada dua: Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Dua kalimat Syahadat itu dalam bahasa Arab disebut Syahadatain, orang Jawa menyebutnya Sekaten. Sejak itu upacara Garebeg Maulid di Jogja dan Solo sampai sekarang dinamakan Garebeg Sekaten atau Sekatenan.

Tradisi Endhog-ndhogan
Kalau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Cirebon ada Garebeg Panjang Jimat, di Jogja dan Solo ada Garebeg Sekaten, khusus di Banyuwangi peringatan Maulid Nabi memiliki ciri-ciri yang khas. Kegiatan Maulid Nabi di Banyuwangi ditandai dengan arak-arakan telur yang diikatkan pada tusuk bambu kemudian ditancapkan pada pohon pisang yang dihiasi dengan asesoris warna-warni hingga tampak menawan dan menarik. Perayaan ini oleh masyarakat Banyuwangi disebut Endhog-ndhogan.
Dua komponen yang menonjol dalam Endhog-ndhogan adalah pohon pisang dan telur. Pohon pisang dan telur ini memiliki makna religi yang dalam.
Pohon pisang adalah sejenis pohon yang tidak mau mati –sekalipun dipotong berkali-kali– baru rela ‘berkalang tanah’ jika sudah memberikan buah. Hal ini mengandung pesan yang mendalam, hakekatnya hidup ini jangan mudah putus asa apalagi menyerah dalam perjuangan, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah, hidup itu untuk berbuat baik dan beribadah! Pohon pisang jika sudah berbuah, buahnya selalu menunduk ke bawah, itu mengandung makna sikap tawadhu’, rendah hati, dan tidak sombong.
Sementara telur terdiri dari tiga bagian: kulit telur, putih telur, dan kuning telur.
Kulit telur artinya Islam.
Putih telur artinya Iman.
Kuning telur artinya Ikhsan.
Jadi pisang dan telur merupakan simbol-simbol yang memiliki makna agar kehidupan kita ini dihiasi dengan perjuangan, diisi dengan amal ibadah.
Akan tetapi, walau segala kemampuan dicurahkan, semua tenaga dikerahkan, harta benda dikorbankan, bahkan nyawa dipertaruhkan semua tanpa tersisa, tidak akan punya arti apa-apa jika amal yang dikerjakan tidak dilandasi dengan Iman (putih telur), amal ibadah akan muspro (lenyap) jika tidak dilakukan sesuai dengan syari’at ajaran agama Islam (kulit telur), sekalipun letih-lelah-berkeringat melakukan amal ibadah tidak akan ada artinya jika tidak dilandasi dengan niat lillahi ta’ala, semata-mata ingin mendapatkan ridha dan maghfirah Allah SWT, yaitu Ikhsan (kuning telur).
Mari kita terus ‘memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik’, semoga peringatan Maulid Nabi dan tradisi Endhog-ndhogan tahun ini mendapat ridha Allah SWT dan syafa’at Rasulullah Muhammad SAW, aamiin.
Rasulullah Muhammad SAW
adalah seorang manusia,
sama seperti lainnya,
namun bukan manusia biasa,
tapi manusia luar biasa,
ia laksana batu permata
di antara berbagai jenis bebatuan,
ia bagaikan berlian,
di antara tumpukan batu-batu gunung,
batu-batu biasa.
“Muhammadun basyarun lah kalbasyari,
bal huwa kalyaquti bainal hajari.”

Loading comments...